Sunday, March 16, 2014

Sunyi




Sunyi kali ini datang tanpa perantara. Tidak angin. Tidak bulan. Tidak juga suara serupa anjing yang menyalak. Hanya sayup-sayup terdengar suara serangga dan cicak yang semakin jelas di telinga.

Posisiku selalu sama setiap malam. Dengan mata terpejam dan kaki bersila, aku menjemput sunyi diam-diam. Rasa takut mulai bereaksi menyebabkan perutku mulas dan seluruh ototku menegang, tapi walaupun begitu aku tahu bahwa aku harus tetap bersetubuh dengan sunyi.

Segala ritual untuk pendekapan sunyi telah kusiapkan. Ingatan-ingatan yang terpelihara dengan baik satu persatu mulai ku bariskan untuk segera ku keluarkan. Peristiwa, rasa sakit, kebahagian, kekecewaan siap berlompatan menunggu giliran untuk di pertontonkan kembali.

Suara-suara dengingan serangga di telinga kian mengusik karena semakin jelas terdengar, itu pertanda bahwa sunyi mulai menjamahku.

Ada beberapa hal yang tak kusukai dari persetubuhanku dengan sunyi. Aku seperti dipaksa untuk memuntahkan kembali peristiwa yang sudah tak mau kuingat lagi. Semacam perpisahan, ketidakutuhan. Ketidakutuhan selalu berhasil menggiring sunyi menjadi peristiwa yang melankoli.

Syukurnya kali ini tak ada hujan.