Sunyi kali ini datang tanpa perantara. Tidak angin. Tidak
bulan. Tidak juga suara serupa anjing yang menyalak. Hanya sayup-sayup
terdengar suara serangga dan cicak yang semakin jelas di telinga.
Posisiku selalu sama setiap malam. Dengan mata terpejam dan kaki
bersila, aku menjemput sunyi diam-diam. Rasa takut mulai bereaksi menyebabkan
perutku mulas dan seluruh ototku menegang, tapi walaupun begitu aku tahu bahwa
aku harus tetap bersetubuh dengan sunyi.
Segala ritual untuk pendekapan sunyi telah kusiapkan.
Ingatan-ingatan yang terpelihara dengan baik satu persatu mulai ku bariskan
untuk segera ku keluarkan. Peristiwa, rasa sakit, kebahagian, kekecewaan siap
berlompatan menunggu giliran untuk di pertontonkan kembali.
Suara-suara dengingan serangga di telinga kian mengusik
karena semakin jelas terdengar, itu pertanda bahwa sunyi mulai menjamahku.
Ada beberapa hal yang tak kusukai dari persetubuhanku dengan
sunyi. Aku seperti dipaksa untuk memuntahkan kembali peristiwa yang sudah tak
mau kuingat lagi. Semacam perpisahan, ketidakutuhan. Ketidakutuhan selalu
berhasil menggiring sunyi menjadi peristiwa yang melankoli.
Syukurnya kali ini tak ada hujan.