Pagi
ini ada gurat-gurat kecemasan dari tiap-tiap wajah bocah, perempuan-perempuan
dan lelaki. Mulut kami tak berhenti mengucapkan doa dan takbir.
Pikiran kami melulu pada Tuhan dan kekasihNya. Tangan dan kaki kami berkeringat
dingin dipenuhi dengan pikiran buruk yang sebenarnya tidak ingin kami
pikirkan. Beberapa kilometer dari tempat kami berada, sekelompok orang
sedang meluapkan kebencian melalui aksara. Kata-kata “mereka sesat” selalu
disebutkan dan segera diamini oleh sekelompok massa yang kebanyakan masih
sangat muda.
Masih
terbayang di ingatan kami bagaimana pengusiran itu bermula 9 bulan lalu. Ketika
rumah dan barang-barang kami habis dibakar massa, hanya karena kami berbeda.
Bukan yang pertama kalinya dan sepertinya ini tidak jadi yang terakhir.
Pengusiran dengan cara yang sama. Alasan relokasi yang berulang, sampai kami
merasa bosan. Ya kami minoritas, meskipun mungkin banyak kesamaan antara
kita.
Luka
itu kembali menganga. Belum sembuh rasanya ketika kami harus kembali mengingat.
Ketika itu mereka berjalan cepat ke arah kami, mengacung-acungkan senjata tajam
dan berteriak “Allahu akbar”. Merangsek bergerak maju ke arah kami,
mendobrak pintu, memecahkan kaca dan menumpahkan bensin. Sebatang
korek api pun menjadi tonggak pencerita sejarah. Asap-asap hitam segera
mengangkasa, menitipkan cerita pada pohon-pohon dan atap-atap rumah yang
dilaluinya, sebagai pertanda bahwa hari itu pernah ada. Rengekan bayi, tangisan
perempuan, jerit ketakutan menghasilkan memar dan lumuran darah di
kening para lelaki. Kami pergi dengan mobil pick up dan
truk-truk yang sudah disediakan negara oleh kami. Kami harus merelakan rumah
dan tanah yang kami beli dengan uang sendiri untuk tidak lagi kami tinggali.
Kami pergi karena terusir dari rumah kami sendiri.