Wednesday, July 3, 2013

Simpati Untuk Sampang dan Bapak Presiden

Pagi ini ada gurat-gurat kecemasan dari tiap-tiap wajah bocah, perempuan-perempuan dan lelaki.  Mulut kami tak berhenti mengucapkan doa dan takbir. Pikiran kami melulu pada Tuhan dan kekasihNya. Tangan dan kaki kami berkeringat dingin dipenuhi dengan pikiran buruk yang sebenarnya tidak ingin kami pikirkan. Beberapa kilometer dari tempat kami berada, sekelompok orang sedang meluapkan kebencian melalui aksara. Kata-kata “mereka sesat” selalu disebutkan dan segera diamini oleh sekelompok massa yang kebanyakan masih sangat muda.

Masih terbayang di ingatan kami bagaimana pengusiran itu bermula 9 bulan lalu. Ketika rumah dan barang-barang kami habis dibakar massa, hanya karena kami berbeda. Bukan yang pertama kalinya dan sepertinya ini tidak jadi yang terakhir. Pengusiran dengan cara yang sama. Alasan relokasi yang berulang, sampai kami merasa bosan. Ya kami minoritas, meskipun mungkin banyak kesamaan antara kita.

Luka itu kembali menganga. Belum sembuh rasanya ketika kami harus kembali mengingat. Ketika itu mereka berjalan cepat ke arah kami, mengacung-acungkan senjata tajam dan berteriak “Allahu akbar”. Merangsek bergerak maju ke arah kami, mendobrak pintu, memecahkan kaca  dan menumpahkan bensin. Sebatang korek api pun menjadi tonggak pencerita sejarah. Asap-asap hitam segera mengangkasa, menitipkan cerita pada pohon-pohon dan atap-atap rumah yang dilaluinya, sebagai pertanda bahwa hari itu pernah ada. Rengekan bayi, tangisan perempuan, jerit ketakutan menghasilkan memar dan lumuran darah di kening para lelaki. Kami pergi dengan mobil pick up dan truk-truk yang sudah disediakan negara oleh kami. Kami harus merelakan rumah dan tanah yang kami beli dengan uang sendiri untuk tidak lagi kami tinggali. Kami pergi karena terusir dari rumah kami sendiri.