Monday, January 7, 2019

Ibu dan Hari Demokrasi


Pagi itu tak seperti biasanya, orang-orang dewasa mulai sibuk berdandan. Tak mau kalah, bocah-bocah berlarian hilir mudik. Sekolah dan kantor diliburkan. Senin, 5 juli 2004 menjadi hari bersejarah. Pemilihan presiden diadakan pertama kali secara langsung sejak negara ini didirikan.

Di jalanan, bentangan spanduk dengan warna dasar merah berkibar-kibar meriah. Merah. Merah. Tinggal di daerah dengan basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuat mata ini tak mentolerir ada warna lain selain merah. Saat itu saya masih belum paham apa makna pemilu bagi saya, seorang remaja yang beranjak dewasa.

Ibu, dari jauh-jauh hari sudah menentukan pilihan. Kali ini ia berbeda pilihan dari keluarga besarnya. Dilahirkan dari keluarga yang cukup religius membuat ibu seperti mengemban tanggung jawab untuk memilih partai berlogo kabah dalam setiap pemilu. “Hanya itu partai yang mewakili islam”, kata aki kepadanya berpuluh tahun lalu. Bapak, lain lagi, Ia seorang guru, abdi negara, pns sejati. Pada partai berlogo beringin bapak menambatkan hatinya. “Kamu, kita semua bisa makan karena partai itu”. Begitu ia menekankan pada saya berkali-kali. Lagi-lagi saya masih tak peduli, saya tak paham.