Pagi itu tak seperti biasanya, orang-orang dewasa mulai sibuk
berdandan. Tak mau kalah, bocah-bocah berlarian hilir mudik. Sekolah dan kantor
diliburkan. Senin, 5 juli 2004 menjadi hari bersejarah. Pemilihan presiden diadakan pertama kali secara langsung sejak negara ini didirikan.
Di jalanan, bentangan spanduk dengan warna dasar merah
berkibar-kibar meriah. Merah. Merah. Tinggal di daerah dengan basis massa Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan membuat mata ini tak mentolerir ada warna lain
selain merah. Saat itu saya masih belum paham apa makna pemilu bagi saya,
seorang remaja yang beranjak dewasa.
Ibu, dari jauh-jauh hari sudah menentukan pilihan. Kali ini
ia berbeda pilihan dari keluarga besarnya. Dilahirkan dari keluarga yang cukup religius
membuat ibu seperti mengemban tanggung jawab untuk memilih partai berlogo kabah
dalam setiap pemilu. “Hanya itu partai yang mewakili islam”, kata aki kepadanya
berpuluh tahun lalu. Bapak, lain lagi, Ia seorang guru, abdi negara, pns
sejati. Pada partai berlogo beringin bapak menambatkan hatinya. “Kamu, kita
semua bisa makan karena partai itu”. Begitu ia menekankan pada saya
berkali-kali. Lagi-lagi saya masih tak peduli, saya tak paham.