Wednesday, August 14, 2019

Agama : Kesadaran atau Warisan



Sengaja saya membuat judul tulisan ini seperti di atas. Tak ada apapun hanya ingin meyakinkan apa yang sedang saya anut dan perjuangkan. Agama lahir 2 abad yang lalu. Sejumlah kisah heroik dan keteladanan dilahirkan melalui sumber-sumber yang dinamakan kitab suci. Kitab suci diyakini sebagai firman dari yang Maha Suci. Illah. Sejak saat itu, semua hadir atas nama agama. Seluruh aspek manusia diatur oleh agama, meski tak sedikit yang merasa tak sreg.

Jauh dari kelahiran agama. Orang-orang zaman dulu meyakini sesuatu menurut nuraninya, entah apakah yang dilihat itu adalah bintang, atau pelangi atau bulan dan matahari. Tak ada hukum yang mengikat mereka. Semua tergantung oleh waktu berpindahnya siang menjadi malam, malam menjadi siang.

Kini. Produk-produk agama muncul meluber. Membuat sesak dan sedikit memualkan. Banyak oknum yang mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Dia sering kali dijadikan kambing hitam atas beragam tindakan keji di muka bumi ini. Membunuh, memperkosa, membatasi gerak perempuan, membakar tempat ibadah lainnya, membuat hidup orang yang tak sealiran menjadi sengsara. Atas nama Dia mereka tergelat di lautan tangisan dan darah orang-orang yang dihakiminya.

Agama yang sejatinya lahir untuk mendamaikan kini diperalat menjadi roda meraih kekuasaan dan uang. Agama apa yang kalian anut, Tuhan mana yang kalian imani? Apakah agama yang dihuni orang-orang yang penuh kemunafikan? Korupsi, dan beristri banyak? Ataukah agama yang melempem, diam saja melihat kemanusiaan dihancurkan di depan mata.

Lepaskan segera agama-agama yang kalian yakini sebagai agama warisan tersebut.
Carilah agama dan Tuhan-Tuhan baru.

Carilah Tuhan yang benar-benar Maha Asih. Tuhan yang Maha Asih tidak akan hadir pada orang-orang brutal yang berteriak-teriak mengumandangkan nama Tuhannya di jalan-jalan dengan beringas. Tuhan yang Maha Asih penikmat kesunyian, ia rindu dipanggil dengan lirih.


Monday, January 7, 2019

Ibu dan Hari Demokrasi


Pagi itu tak seperti biasanya, orang-orang dewasa mulai sibuk berdandan. Tak mau kalah, bocah-bocah berlarian hilir mudik. Sekolah dan kantor diliburkan. Senin, 5 juli 2004 menjadi hari bersejarah. Pemilihan presiden diadakan pertama kali secara langsung sejak negara ini didirikan.

Di jalanan, bentangan spanduk dengan warna dasar merah berkibar-kibar meriah. Merah. Merah. Tinggal di daerah dengan basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membuat mata ini tak mentolerir ada warna lain selain merah. Saat itu saya masih belum paham apa makna pemilu bagi saya, seorang remaja yang beranjak dewasa.

Ibu, dari jauh-jauh hari sudah menentukan pilihan. Kali ini ia berbeda pilihan dari keluarga besarnya. Dilahirkan dari keluarga yang cukup religius membuat ibu seperti mengemban tanggung jawab untuk memilih partai berlogo kabah dalam setiap pemilu. “Hanya itu partai yang mewakili islam”, kata aki kepadanya berpuluh tahun lalu. Bapak, lain lagi, Ia seorang guru, abdi negara, pns sejati. Pada partai berlogo beringin bapak menambatkan hatinya. “Kamu, kita semua bisa makan karena partai itu”. Begitu ia menekankan pada saya berkali-kali. Lagi-lagi saya masih tak peduli, saya tak paham.