Monday, February 6, 2017

Pram, Kehidupan yang Berjejak

Gambar dokumentasi pribadi
Hari ini, tepat 92 tahun yang lalu Pram lahir. Google doodle pun mengapresiasi dengan memasang gambar Pram. Saya tak akan membahas tentang siapa Pram. Sekali anda ketik nama Pramoedya Ananta Toer di mesin pencari, maka ribuan berita tentangnya akan ditampilkan di layar monitor.

Saya ingin berbagi tentang perjumpaan saya dengan karya Pram. Sangat terlambat saya mengenal Pram, tetapi dengan begitu saya sadar bahwa saya harus mengejar ketertinggalan. Tahun 2011 adalah masa dimana saya sering berkunjung ke Batu Api, perpustakaan humaniora di Jatinangor. Saya bertanya pada bang Anton (pemilik Batu Api) “Bang, buku apa yang harus saya baca sebagai warga negara Indonesia”? bang Anton langsung menjawab “kamu jangan pernah mengaku bagian dari bangsa Indonesia kalau belum pernah membaca Pram, mulailah dari Tetralogi Pulau Buru “Bumi Manusia””. Saya pun dengan segera melaksanakan ‘perintah’ sang ‘suhu’ bang Anton.

Saya langsung meminjam Bumi Manusia. Bang Anton benar, buku ini memang wajib dibaca setiap warga negara Indonesia. Pram membawa saya mengenal Minke, Annelis, Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh. Pram seperti meniupkan ruh pada tokoh-tokoh rekaanya. Kata-kata Pram magis, tajam, menguliti, mencerca, memaki, menyindir tanpa takut. Sastra baginya adalah perjuangan. Pram berjuang habis-habisan dengan perih dan pedih. Hati saya ngilu membayangkan Annelis, Minke, dan Nyai Ontosoroh. Bumi Manusia selesai dalam waktu 3 hari, saya makin gelisah, hati saya menggelora. Pram berhasil menyulut amarah, menanamkan kegigihan untuk berjuang hingga terakhir, hingga tetes darah penghabisan.