![]() |
Gambar dokumentasi pribadi |
Hari ini, tepat 92 tahun yang
lalu Pram lahir. Google doodle pun mengapresiasi dengan memasang gambar Pram.
Saya tak akan membahas tentang siapa Pram. Sekali anda ketik nama Pramoedya
Ananta Toer di mesin pencari, maka ribuan berita tentangnya akan ditampilkan di
layar monitor.
Saya ingin berbagi tentang
perjumpaan saya dengan karya Pram. Sangat terlambat saya mengenal Pram, tetapi
dengan begitu saya sadar bahwa saya harus mengejar ketertinggalan. Tahun 2011 adalah
masa dimana saya sering berkunjung ke Batu Api, perpustakaan humaniora di
Jatinangor. Saya bertanya pada bang Anton (pemilik Batu Api) “Bang, buku apa
yang harus saya baca sebagai warga negara Indonesia”? bang Anton langsung
menjawab “kamu jangan pernah mengaku bagian dari bangsa Indonesia kalau belum
pernah membaca Pram, mulailah dari Tetralogi Pulau Buru “Bumi Manusia””. Saya pun
dengan segera melaksanakan ‘perintah’ sang ‘suhu’ bang Anton.
Saya langsung meminjam Bumi
Manusia. Bang Anton benar, buku ini memang wajib dibaca setiap warga negara
Indonesia. Pram membawa saya mengenal Minke, Annelis, Tuan Mellema dan Nyai
Ontosoroh. Pram seperti meniupkan ruh pada tokoh-tokoh rekaanya. Kata-kata Pram
magis, tajam, menguliti, mencerca, memaki, menyindir tanpa takut. Sastra
baginya adalah perjuangan. Pram berjuang habis-habisan dengan perih dan pedih. Hati
saya ngilu membayangkan Annelis, Minke, dan Nyai Ontosoroh. Bumi Manusia
selesai dalam waktu 3 hari, saya makin gelisah, hati saya menggelora. Pram berhasil
menyulut amarah, menanamkan kegigihan untuk berjuang hingga terakhir, hingga
tetes darah penghabisan.