Pesona kembang api memang tak
pernah sirna, suara yang menggelegar bisa termaklumi dengan hadirnya pendar-pendar
cahaya di angkasa. Tahun baru adalah perayaan, suka cita bagi mereka yang tak
pernah mampu untuk membeli kembang, suatu kemewahan karena kembang api bisa
dilihat dimana-mana sekaligus duka cita bagi mereka yang tak bisa menikmati
warna-warni cantik di angkasa secara langsung.
Pemaknaan tahun baru, setiap jiwa
pasti melakukannya di penghujung hari. Ada yang dengan mudah melupakannya ada
juga yang dengan gigih memperjuangkan pemaknaan tersebut. Tahun baru menghadirkan
keriaan, optimisme, meskipun melewati malam tahun baru di rumah di bawah
selimut, tapi optimisme tetap dialirkan ke dalam dada, tersenyum menyambut
matahari pagi di tahun yang berbeda angkanya.
Atau mungkin kekecewaan? Kecewa karena
kalender berganti angka dengan cepat sedangkan pergerakan kita sangat lambat di
tahun kemarin, tak ada yang sudah kita lakukan selain memanjakan diri sendiri
dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, tak ada kesenangan yang kita bagi
dengan orang lain, tak ada energi positif yang ditularkan, tak ada re-generasi
pemikiran, tak ada... tak ada yang dilakukan.... dan kita mengakui bahwa kita
kalah.
Kemarin saya berdiri di tengah
kerumunan, menyaksikan percikan cahaya kembang api dari dekat. Semua mata
melihat ke langit, seolah langit adalah tempat mereka kembali. Saya terlupa
akan seseorang, seseorang yang menunggu dengan sabar di rumah, seseorang yang
hanya mendengar gelegar kembang api tanpa melihat kecantikannya, seseorang yang
tak berani keluar rumah, seseorang yang saya tinggalkan di belakang. Saya
menyesal. Di balik kemegahan pesta kembang api ada jiwa yang sedang tertelungkup
dengan rapat di balik selimut, keinginan yang hanya bisa dalam benak. Saya tak
bisa membayangkan bagaimana menjadi dirinya.