Sunday, July 20, 2014

The Lady "Aung San Suu Kyi"



Setiap ibu akan melahirkan anak terbaiknya. Aung San Suu Kyi lahir dari perut ibu pertiwi Burma 19 Juni 1945. 2 tahun setelah kelahirnya, Ayahnya Aung San pejuang kemerdekaan meninggal di bunuh oleh rival politiknya. Suu kecil tak paham tentang kondisi, yang dia tahu bahwa sang pendongeng ketika malam menjelang dia tidur sudah tak ada lagi.

Burma adalah negara yang tidak ramah. Dominasi pemerintahan militer yang menghasilkan berbagai kebijakan dan menomorsatukan keamanan dan ketertiban mewarnai perjalanan Burma sehingga Burma terperangkap dalam keterasingan. Kekerasan terhadap rakyat sipil yang dilakukan militer banyak terjadi. Kekerasan antaretnik yang tak pernah berhenti juga menambah deretan masalah Burma.

Suu yang saat itu tinggal di London bersama suami Michael Aris dan 2 anaknya memutuskan pulang ke Burma karena ibunya sakit. Selama itu pula di depan mata kepalanya Suu melihat ketidakadilan. Penderitaan rakyat, ketakutan dan arogansi militer yang makin menjadi.

Kedatangan Suu seperti kedatangan malaikat bagi rakyat Burma. Mereka menaruh harapan agar Junta militer bisa segera selesai. Mereka menginginkan demokrasi, pemerintahan yang baru. Suu menyepakati itu, rasa cinta kepada tanah air memaksanya untuk ikut bertanggung jawab terhadap tetesan darah yang tercecer pada rakyat sipil akibat kekerasan militer.

Suu mulai bergerak. Membangun harapan, memupuknya dan berharap bisa memanennya. Suu sudah bertekad tidak melawan dengan kekerasan, yang dia miliki hanya keberanian dan harapan. Bebas dari ketakutan itu yang digelorakan kepada rakyat Burma. Perjalanannya tak mulus. Pihak pemerintah merasa terancam segala cara dilakukannya agar Suu berhenti dan tidak mendapat dukungan. Mulai dari dilarang bertemu dengan suami dan anak-anaknya hingga sampai penahanan rumah dan bahkan ini terjadi setelah partai yang didirikan Aung San Suu Kyi Liga Nasional Demokrasi memenangkan pemilu hingga 80%.

Suaminya Michael Aris tak tinggal diam. Dia mengusahakan Suu agar mendapat Nobel Perdamaian dengan harapan ketika Suu mendapat Nober tersebut, dunia akan mengakuinya dan berbuat sesuatu terhadap Suu yang ketika itu menjadi tahanan rumah. Tahun 1991 Suu meraih Nobel Perdamaian tapi itu tak merubah apapun. Burma seperti terisolasi. Gelombang demokratisasi di dunia seperti tak pernah terdengar di dunia. Globalisasi yang melanda dunia juga tak pernah menyentuh Burma. Burma tetap arogan. Dan dunia pun tak bisa berbuat apa-apa.

Hari paling kelam bagi Suu mungkin ketika suaminya meninggal, hilangnya sang pendongkrak semangat. Sebagai tahanan rumah Suu pun tidak bisa melihatnya. Di sini saya benar-benar yakin bahwa Pemerintahan Burma tak bernurani. Dengan 21 tahun penahanan Suu dengan 15 tahunnya sebagai tahanan rumah dunia pantas mensejajarkan Suu dengan Mandela dan Gandhi.

Bagi saya Suu bukan hanya sekedar inspirasi, tapi dia seperti lentera yang tak pernah padam.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rena Asyari @Na_Asyari 
Cibiru 20 Juli 2014

Tulisan ini lahir setelah saya mengikuti acara Ramadan in Asean 19 Juli 2014 di Museum Konperensi Asia Afrika. Untuk Komunitas LayarKita saya haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya.