Setiap ibu akan melahirkan anak terbaiknya. Aung San Suu Kyi
lahir dari perut ibu pertiwi Burma 19 Juni 1945. 2 tahun setelah kelahirnya,
Ayahnya Aung San pejuang kemerdekaan meninggal di bunuh oleh rival politiknya.
Suu kecil tak paham tentang kondisi, yang dia tahu bahwa sang pendongeng ketika
malam menjelang dia tidur sudah tak ada lagi.
Burma adalah negara yang tidak ramah. Dominasi pemerintahan
militer yang menghasilkan berbagai kebijakan dan menomorsatukan keamanan dan
ketertiban mewarnai perjalanan Burma sehingga Burma terperangkap dalam
keterasingan. Kekerasan terhadap rakyat sipil yang dilakukan militer banyak
terjadi. Kekerasan antaretnik yang tak pernah berhenti juga menambah deretan
masalah Burma.
Suu yang saat itu tinggal di London bersama suami Michael
Aris dan 2 anaknya memutuskan pulang ke Burma karena ibunya sakit. Selama itu
pula di depan mata kepalanya Suu melihat ketidakadilan. Penderitaan rakyat,
ketakutan dan arogansi militer yang makin menjadi.
Kedatangan Suu seperti kedatangan malaikat bagi rakyat
Burma. Mereka menaruh harapan agar Junta militer bisa segera selesai. Mereka
menginginkan demokrasi, pemerintahan yang baru. Suu menyepakati itu, rasa cinta
kepada tanah air memaksanya untuk ikut bertanggung jawab terhadap tetesan darah
yang tercecer pada rakyat sipil akibat kekerasan militer.
Suu mulai bergerak. Membangun harapan, memupuknya dan
berharap bisa memanennya. Suu sudah bertekad tidak melawan dengan kekerasan,
yang dia miliki hanya keberanian dan harapan. Bebas dari ketakutan itu yang
digelorakan kepada rakyat Burma. Perjalanannya tak mulus. Pihak pemerintah
merasa terancam segala cara dilakukannya agar Suu berhenti dan tidak mendapat
dukungan. Mulai dari dilarang bertemu dengan suami dan anak-anaknya hingga
sampai penahanan rumah dan bahkan ini terjadi setelah partai yang didirikan
Aung San Suu Kyi Liga Nasional Demokrasi memenangkan pemilu hingga 80%.
Suaminya Michael Aris tak tinggal diam. Dia mengusahakan Suu
agar mendapat Nobel Perdamaian dengan harapan ketika Suu mendapat Nober
tersebut, dunia akan mengakuinya dan berbuat sesuatu terhadap Suu yang ketika
itu menjadi tahanan rumah. Tahun 1991 Suu meraih Nobel Perdamaian tapi itu tak
merubah apapun. Burma seperti terisolasi. Gelombang demokratisasi di dunia
seperti tak pernah terdengar di dunia. Globalisasi yang melanda dunia juga tak
pernah menyentuh Burma. Burma tetap arogan. Dan dunia pun tak bisa berbuat
apa-apa.
Hari paling kelam bagi Suu mungkin ketika suaminya
meninggal, hilangnya sang pendongkrak semangat. Sebagai tahanan rumah Suu pun tidak
bisa melihatnya. Di sini saya benar-benar yakin bahwa Pemerintahan Burma tak bernurani. Dengan 21 tahun penahanan Suu dengan 15 tahunnya
sebagai tahanan rumah dunia pantas mensejajarkan Suu dengan Mandela dan Gandhi.
Bagi saya Suu bukan hanya sekedar inspirasi, tapi dia
seperti lentera yang tak pernah padam.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rena Asyari
@Na_Asyari
Cibiru 20 Juli 2014
Tulisan ini lahir setelah saya mengikuti acara Ramadan in Asean 19 Juli 2014 di Museum Konperensi Asia Afrika. Untuk Komunitas LayarKita saya haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya.