Tuesday, June 13, 2017

Nisan Dengan Huruf P

Flamboyan menyapa di muka pintu
Hening, sunyi
Nisan-nisan berbicara
Tentang kerinduan dan kehilangan
                   Kaki renta yang tertatih
                   Tangan legam urat menonjol
                   Gigi keropos ikut mengeja
                   Merapal doa
Habis lelah sedikit harapan
Waduk dan gunung menjadi mata
Bagi tubuh ringkih yang kian bongkok
Mencari nisan berhurup P
                   Nisan itu bisu
                   Tak ada tempat untuk tubuh ini membujur di sampingnya
                   P yang dinanti dan dicari
                   Sudah tak lagi sendiri
Meski tanah tak bisa dibohongi
Tentang tubuh mana yang ia ingini
                   Sambil menyiapkan bekal untuk pulang
                   Aku sibuk mengusap hati yang berduka selamanya


Puisi ini untuk Mbah Sri yang terus mencari Nisan Pawiro Sahid dalam Film Ziarah



Thursday, June 1, 2017

Rococo


Lagi, saya melahirkan. Entah untuk keberapa kalinya saya tak tahu. Saya tak pernah menghitung sudah berapa kali saya mengejan dan berapa banyak bulir keringat resah yang menemani malam-malam yang sunyi dalam ranjang persalinan. Bagi saya setiap yang saya lahirkan harus segera saya lupakan, membiarkan mereka berkembang sendiri. Mengingatnya sesekali saja. Jika mereka beranjak dewasa dan mencari saya, tentu saja seluruh tangan akan saya pergunakan untuk memeluk mereka. Tak sedikitpun cinta saya beranjak. Cinta saya utuh untuk mereka.

Menuju kelahiran tentu tak gampang, ada proses persetubuhan yang harus dilakukan berkali-kali, beruntung jika satu kali jadi. Sesudahnya lorong-lorong gelap siap menyambut, pegal yang tak berkesudahan, posisi tubuh yang selalu salah, entah itu ketika berbaring ataupun duduk dan beragam kesakitan hanya dialami oleh perempuan yang mengandung.

Kali ini bayi itu berwarna merah dan cukup gempal. Saya namai Rococo. Selama dalam kandungan Rococo tak rewel, dia seringkali mengajak bermain, menendang-nendang perut dan berbicara mengenai rahasia langit, permukaan bawah laut, dan dunia dalam tanah.

Rococo seringkali menghibur. Menyeret saya untuk meninggalkan dunia orang dewasa yang sedang karut marut. Dalam dunia Rococo tak ada ingar bingar pembicaraan politik ataupun sengketa kekuasaan atas nama agama. Bersama Rococo seringkali saya tersenyum sendiri seperti orang jatuh cinta. Rococo lebih-lebih dari seorang anak, dia belahan jiwa. Saya jadi teringat bagaimana proses “menguleni” Rococo. Berjam-jam di depan laptop menunggu satu hurup keluar sampe punggung pegal dan lupa makan. Rela gak mandi hingga sore demi menunggui “ilham” datang. Bertaburan coretan di kertas, mengganti tema, mengganti alur cerita, tak jarang juga saya putus asa.

Bagi yang lain mungkin Rococo tak ada keistimewannya. Tapi bagi saya dia bilangan genap yang melengkapi keganjilan. Saya senang, kaki-kaki Rococo sekarang mulai menjejak di banyak tempat. Rococo akan keliling dunia, semoga dia mau mengajak ibunya.