Lagi, saya melahirkan. Entah untuk
keberapa kalinya saya tak tahu. Saya tak pernah menghitung sudah berapa kali
saya mengejan dan berapa banyak bulir keringat resah yang menemani malam-malam
yang sunyi dalam ranjang persalinan. Bagi saya setiap yang saya lahirkan harus segera
saya lupakan, membiarkan mereka berkembang sendiri. Mengingatnya sesekali saja.
Jika mereka beranjak dewasa dan mencari saya, tentu saja seluruh tangan akan
saya pergunakan untuk memeluk mereka. Tak sedikitpun cinta saya beranjak. Cinta
saya utuh untuk mereka.
Menuju kelahiran tentu tak gampang,
ada proses persetubuhan yang harus dilakukan berkali-kali, beruntung jika satu
kali jadi. Sesudahnya lorong-lorong gelap siap menyambut, pegal yang tak
berkesudahan, posisi tubuh yang selalu salah, entah itu ketika berbaring
ataupun duduk dan beragam kesakitan hanya dialami oleh perempuan yang
mengandung.
Kali ini bayi itu berwarna merah
dan cukup gempal. Saya namai Rococo. Selama dalam kandungan Rococo tak rewel,
dia seringkali mengajak bermain, menendang-nendang perut dan berbicara mengenai
rahasia langit, permukaan bawah laut, dan dunia dalam tanah.
Rococo seringkali menghibur.
Menyeret saya untuk meninggalkan dunia orang dewasa yang sedang karut marut. Dalam
dunia Rococo tak ada ingar bingar pembicaraan politik ataupun sengketa
kekuasaan atas nama agama. Bersama Rococo seringkali saya tersenyum sendiri
seperti orang jatuh cinta. Rococo lebih-lebih dari seorang anak, dia belahan
jiwa. Saya jadi teringat bagaimana proses “menguleni” Rococo. Berjam-jam di
depan laptop menunggu satu hurup keluar sampe punggung pegal dan lupa makan.
Rela gak mandi hingga sore demi menunggui “ilham” datang. Bertaburan coretan di
kertas, mengganti tema, mengganti alur cerita, tak jarang juga saya putus asa.
Bagi yang lain mungkin Rococo tak
ada keistimewannya. Tapi bagi saya dia bilangan genap yang melengkapi
keganjilan. Saya senang, kaki-kaki Rococo sekarang mulai menjejak di banyak
tempat. Rococo akan keliling dunia, semoga dia mau mengajak ibunya.